Jumat, 22 Januari 2010

Makalah Sejarah Pemikiran dalam Islam

TASAWUF
(Asal Usul dan Arti Tasawuf, Maqâmât dan Ahwâl)
Oleh : Yulestri Helvidha

A. PENDAHULUAN
Tasawuf sebagai aliran adalah perkembangan lanjut dari keshalehan para zahid yang mengelompokkan diri di serambi-serambi masjid. Perjalanan kelompok ini mengkhususkan untuk beribadah dan pengembangan kehidupan kerohanian dengan mengabaikan kehidupan duniawi. Masa hidup mereka hanya terpusat pada hal-hal yang akan membawa mereka dekat dengan Allah SWT. Sampai akhirnya sebutan zahid berubah menjadi sufi. Seiring dengan berjalannya waktu perbincangan para zahid sudah sampai pada persoalan jiwa yang bersih dan moral.
Tindak lanjut dari perbincangan tersebut adalah teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh para sufi untuk mencapai ma’rifat Allah. Kemudian membahas tentang kondisi-kondisi bathin yang mereka alami ketika berada pada tingkatan-tingkatan tersebut.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan asal usul munculnya tasawuf, pengertian tasawuf, tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh para sufi ( al-maqâmât ) serta kondisi bathiniah yang mereka alami (al-ahwâl).

B. PEMBAHASAN
1. Asal Usul dan Arti Tasawuf
Kata tasawuf mulai diperbincangkan sebagai salah satu istilah sekitar akhir abad dua hijriah yang dikaitkan dengan salah satu jenis pakaian yang kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Kain sejenis itu sangat digemari oleh para zahid sehingga menjadi simbol kesederhanaan pada masa itu. Menghubungkan sufi atau tasawuf dengan shuff, nampaknya cukup korelasi, yakni antara jenis pakaian yang sangat sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi. Kebiasaan memakai wool kasar juga sudah merupakan karateristik kehidupan orang-orang shaleh sebelum datangnya Islam, sehingga mereka dijuluki dengan sufi, orang-orang yang memakai shuff. Selain itu tasawuf juga dikaitkan dengan sekelompok muhajirin yang hidup dalam kesederhanaan di Madinah, di mana mereka itu selalu berkumpul di Serambi Masjid Nabi yang disebutkan Shuffah. Oleh karena mereka mengambil tempat di Serambi Masjid itu, maka kelompok itu disebut ahl al-shuffah. Cara hidup shaleh dalam kesederhanaan yang diperagakan oleh kelompok itu, kemudian menjadi pola panutan bagi sebagian ummat Islam yang kemudian yang disebut sufi dan ajarannya dinamai tasawuf.
Pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya untuk mendefinisikan tasawuf ternyata sulit untuk mengambil kesimpulan yang tepat. Kesulitan itu nampaknya berpangkal pada esensi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan. Masing-masing orang yang mengalami mempunyai penghayatan yang berbeda dari orang lain sehingga pengungkapannya juga melalui cara yang berbeda. Maka muncullah definisi tasawuf sebanyak orang yang mencoba menginformasikan pengalaman rohaniahnya itu. Disamping faktor tadi juga karena ciri tasawuf yang instuitif subjektif, dipersulit lagi karena pertumbuhan dan kesejarahan tasawuf yang melalui berbagai segmen dan dalam kawasan kultur yang bervariasi.
Dalam setiap fase dan dalam setiap kawasan kultur, kemunculan tasawuf terlihat hanya sebagian dari unsur-unsurnya saja sehingga penampilannya tidak utuh dalam satu ruang dan waktu yang sama. Dari unsur- unsur yang berserakan itulah kemudian disistematisir satu disiplin ilmu yang disebut tasawuf. Satu disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritual yang mengacu pada kehidupan moralitas yang bersumber dari nilai-nilai Islam.
Pengertian tasawuf segi bahasa terdapat sejumlah istilah yang dihubungkan para ahli untuk menjelaskan arti kata tasawuf. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Abdurrahman Abdul Khaliq dan Prof. Dr. Ilahi Zhahir dalam buku Pemikiran sufisme sebagai berikut:
1. Tasawuf berasal dari kata Shaff ( صف ) yang artinya barisan dalam shalat berjamaah. Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan selalu memilih shaff terdepan dalam shalat berjamaah.
2. Berasal dari kata shaufânah ( صوفانة ) yang artinya sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasi Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena melihat orang-orang sufi banyak memakai pakaian yang berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik tetapi dalam kesuburan bathin
3. Berasal dari kata shuffah ( صفة ) yang berarti pelana yang dipergunakan oleh para sahabat nabi yang miskin untuk tidur di atas bangku batu di samping masjid Nabawi di Madinah. Versi lain mengatakan bahwa shuffah artinya suatu kamar di samping masjid Nabawi yang disediakan untuk para sahabat Nabi dari golongan Muhajirin yang miskin. Penghuni shuffah disebut ahl al-shuffah. Mereka mempunyai sifat-sifat teguh pendirian, taqwa, wara’, zuhud, dan tekun beribadah. Adapun pengambilan kata shuffah karena kemiripan tabi’at mereka dengan sifat-sifat ahl al-shuffah
4. Merujuk pada kata shafwah ( صفوة ) yang berarti sesuatu yang terpilih atau terbaik. Dikatakan demikian karena seorang sufi biasa memandang diri mereka sebagai seorang pilihan atau orang terbaik
5. Merujuk pada kata shafa atau shafw ( صف - صفوا ) yang artinya bersih atau suci. Maksudnya kehidupan seorang sufi lebih banyak dirahkan pada penyician bathin untuk mendekatkan diri kepada Allah sebab Tuhan tidak bisa didekati kecuali orang-orang suci
6. Berasal dari kata shuff ( صف ) yang artinya wol atau kain bulu kasar. Disebut demikian karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian yang berbuat dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakain sutra yang dipakai orang-orang kebanyakan
7. Berasal dari bahasa Yunani, yaitu theosophy. Theo artinya Tuhan dan shopos artinya hikmat, yang berarti hikmat ketuhanan. Mereka merujuk kepada bahasa Yunani karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan

Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah menurut pendapat para ahli seperti Ma’ruf al-Karkhy, Abu Turab al-Nakhsaty, Sahl bin Abd Allah al-Tustary sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Abdurrahman Abdul Khaliq dan Prof. Dr. Ilahi Zhahir dalam buku Pemikiran sufisme yang mereka kutip dari buku Pengantar Ilmu Tasawuf, sangat bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang berbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.Selanjutnya jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekat diri kepada Allah SWT. Kemudian jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju pada kegiatan-kegiatan yang menghubungkan manusia kepada Tuhan.
Selain itu Al-Basyumi sebagaimana yang terdapat dalam Ensiklopedi dunia Islam Pemikiran dan Peradaban mengatakan bahawa tasawuf adalah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa secara benar kepada amal dan aktifitas yang sungguh-sungguh dan menjauhkan diri dari keduaan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT untuk mendapatkan perasaan dalam berhubungan dengan-Nya.
Dari berbagai macam defenisi diatas, penulis berpendapat bahwa tasawuf adalah usaha seorang manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan membebaskan diri dari pengaruh dunia dan memusatkan diri pada hal-hal yang akan membantunya untuk dekat dengan Allah. Bukan berarti seorang sufi tidak ikut merasakan dunia seperti manusia biasa namun mereka menjalani kehidupan dunia sebatas kebutuhan mereka saja. Mereka tidak berlebihan dalam mengejar harta kekayaan karena bagi mereka kesederhaanlah yang akan lebih mendekatkan mereka kepada Allah.
2. Maqâmât
Secara etimologi maqâmat berasal dari kata ( مقام ) yang berarti ( المنزلة ) yaitu kedudukan, posisi, pangkat, derajat, tingkat. Istilah ini selanjutnya digunakan sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh para sufi untuk berada dekat dengan Allah.
Pengertian maqâmât secara istilah terdapat berbagai pendapat ulama, diantaranya al-Imam al- Qusyairi yang berpendapat bahwa maqậmật adalah adab yang dijalani, ditekuni, serta dicapai dengan semacam tindakan dan pemaksaan diri.
Dr. Amir al-Najar dalam bukunya Psikoterapi Sufistik mengatakan bahwa maqậm adalah tempat berdiri. Berdiri disini adalah suatu keadaan bertambah lebih baiknya seorang hamba karena sifat-sifat yang dihasilkannya melalui riyâdhah dan ibadah. Menurut pandangan At-Tirmidzi sebagaimana yang juga dikutip oleh Dr. Amir al-Najar dalam bukunya Psikoterapi Sufistik, maqam adalah berbagai tahap pendakian kepada yang mahaluhur dan berbagai fase penempuhan menuju kepada-Nya. Sedangkan menurut Al-Qusyairi maqam adalah etika yang dapat diwujudkan oleh seorang hamba dalam manzilahnya,yaitu berupa upaya yang menuntunnya kepada Allah SWT.
Di kalangan sufi, orang pertama yang membahas masalah al-maqamat atau jenjang dan fase perjalanan menuju kedekatan dengan Tuhan, adalah al-Haris ibnu Asad al-Muhasibi. Menurutnya, perhitungan dan perbandingan terletak diantara keimanan dan kekafiran, antara kejujuran dan kekhianatan, antara tauhid dan syirik serta antara ikhlas dan riya. Hampir satu angkatan dengannya kemudian muncul pula tokoh lain yakni al-Surri al-Saqathi dengan pendapatnya, ada empat hal yang harus ada dalam qalbu seseorang yaitu rasa takut hanya kepada Allah, rasa harap hanya kepada Allah, rasa cinta hanya kepada Allah dan rasa akrab dengan Allah. Kemudian tampil pula Abu Said al-Kharraz dengan formasi lengkap serial dan fase perjalanan sufi.
Perjalanan dari satu etape ke etape berikutnya adalah suatu perjalanan safari yang berat dan sulit. Oleh karenanya untuk mencapai tujuan tersebut tidak akan terlaksana kecuali melalui perjalanan dan pengorbanan yang disebut mujahadat. Perjuangan itu meliputi aspek lahiriah dan bathiniah. Mengenai jumlah dan formasi maqamat terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Di antaranya adalah:
1. Muhammad al-Kalabazy mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-sabr, al-faqr, al-tawadlu, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah
2. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi menyebutkan bahwa maqamat hanya enam, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla
3. Al-Ghazali mengatakan bahwa maqamat ada delapan, yaitu al-taubah, al-sabr, al-zuhud,, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla
Dari sekian banyak pendapat tentang pembagian maqamat di atas, ada maqâmât yang telah disepakati ulama yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawadlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah mereka tidak sepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah tersebut terkadang mereka menyebutnya sebagai hal dan ittihad. Berikut akan dijelaskan tentang maqamat yang harus ditempuh oleh para sufi:
1. al-Taubah
al-Taubah berasal dari bahasa arab yaitu tâba, yatûbu-taubatan (تاب-يتوب-توبة) yang artinya berjanji untuk tidak mengulangi.
Dalam mengartikan taubat, para sufi berbeda pendapat, tetapi secara garis besarnya dapat di bedakan kepada tiga kategori, yaitu : pertama, taubat dalam pengertian meninggalkan segala kemaksiatan dan melakukan kebajikan secara terus-menerus. Kedua, taubat ialah keluar dari kejahatan dan memasuki kebaikan karma takut pada murka Allah. Ketiga, taubat adalah terus-menerus bertaubat walaupun sudah tidak pernah lagi berbuat dosa, yang disebut taubat ‘aladdawam atau bertaubat abadi.
Taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi menurut Abuddin Nata dalam bukunya Akhlak Tasawuf adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan kebaikan. Harun Nasution sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata juga mengatakan bahwa taubah yang dimaksud di kalangan sufi adalah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat. Seperti yang tercantum dalam surat Ali Imran : 135:
          

“ dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri[229], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka ……(QS. Ali Imran: 135)

Amir an-Najar dalam bukunya Psikoterapi sifistik mengatakan bahwa Al-Qusyairi berpendapat, syarat melakukan tobat supaya sah ada tiga hal, yaitu menyesali perbuatan yang berupa penentangan, meninggalkan dosa saat itu pula, dan bertekad tidak akan mengulangi kembali kemaksiatan yang telah dilakukannya.
Taubat adalah tingkatan pertama yang harus ditempuh seorang sufi sebelum melewati tahap-tahap berikutnya. Mula-mula jiwa haruslah bersih dari dosa dan keinginan-keinginan untuk mengulanginya lagi.


2. al-Zuhud
Secara harfiah al-zuhud berarti menjauhkan diri dari kesenangan duniawi untuk beribadah. Secara istilah menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan kehidupan akhirat yang kekal dan abadi daripada kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dalam surat al-Nisa’ : 77:
        •    
Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.

Sebagian ulama membagi zuhud kepada beberapa bagian, yaitu zuhud orang-orang awam, zuhud kaum kehendak (ahl al-iradah), zuhud orang-orang terpilih di atara pilihan (khashshah al-khashshah), dan zuhud di dalam zuhud. Al-Qasyani mengatakan dahwa zuhud orang awam adalah membersihkan diri dari berbagai kesyubhatan setelah meninggalkan keharaman karena takut mendapat celaan. Zuhud kaum kehendak adalah membersihkan diri dari kelebihan dengan cara meninggalkan hal yang melebihi kadar kebutuhan pokok, kemudian mendandani diri dengan dandanan para nabi dan orang-orang tulus. Zuhud orang yang terpilih di antara pilihan adalah berpaling dari setiap hal selain Allah SWT, berupa berbagai kepentingan jiwa. Adapun zuhudi dalam zuhud adalah menganggap rendah apa yang telah engkau zuhudi.
Menurut pandangan hidup sufi, dunia dengan segala kehidupan materialnya, adalah sumber kemaksiatan dan penyebab atau pendorong terjadinya perbuatan-perbuatan kejahatan yang menimbulkan kerusakan dan dosa. Sikap zuhud sangat erat kaitannya dengan taubat, sebab taubat tidak akan berhasil selama hati dan kecenderungan nafsu masih dapat dipengaruhi oleh kesenangan duniawi.
3. al-Wara’
Secara harfiah al-wara’ artinya menjauhkan diri dari dosa, maksiat dan perkara syubhat.
Al-wara’ secara istilah menurut pendapat ulama seperti Ibrahim bin Adham yang mengatakan bahwa al-wara’ adalah meninggalkan setiap kesyubhatan dan meninggalkan setiap hal yang tidak berguna bagimu yaitu meninggalkan barang yang melebihi kadar. Adapun al-Muhasibi memiliki pandangna sang sangat mendalam mengenai al-wara’. Menurutnya al-wara’ adalah menghisab setiap hal yang dibenci oleh Allah baik tindakan fisik, hati atau anggota tubuh dan menjauhi dari menyia-nyiakan sesuatu yang difardhukan oleh Allah SWT, baik dalam hati maupun anggota badan. Dan hal tersebut hanya bisa dilakukan dengan muhasabah.
Ibrahim bin Adham sebagaimana yang dikutip oleh Rivay Siregar berpendapat bahwa al-wara’ ialah meninggalkan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan. Sedangkan menurut Qamar Kailani sebagaimana yang juga dikutip oleh Rivay Siregar bahwa ia membedakan al-wara’ itu kepada dua macam, al-wara’ lahiriyah yaitu tidak mempergunakan anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah dan al-wara’ bathin yaitu tidak menempatkan atau mengisi hatinya kecuali Allah.
Dalam pengertian sufi al-wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Sikap menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan dengan hadits nabi yang berbunyi:
فمن اتقى من الشبهات فقد استبرأ من الحرام (رواه البخارى)

“ Barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat ia telah terbebas dari yang haram. (HR. Bukhari)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa syubhat lebih dekat dengan yang haram. Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat berpengaruh bagi orang yang memakannya.
4. al-Faqr
Secara harfiah al-faqr berarti kesusahan, kesedihan, kemiskinan, dan kefakiran. Rivay Siregar berpendapat bahwa al-faqr secara sederhana berarti tidak mengharap dan tidak menuntut melabihi dari apa yang telah dimiliki, tidak meminta atau mencari harta kecuali hanya untuk melaksanakan kepentingan syari’at.
Sedangkan dalam pandangan sufi al-faqr adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada kita. Seperti halnya dalam istilah-istilah yang lain, al-Faqr juga mempunyai interprestasi yang berbeda antara satu sufi dengan sufi lain. Tetapi pada umumnya berfokus kepada sikap hidup yang tidak “ngoyo” atau memaksa diri untuk mendapatkan sesuatu. Tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan primer. Tetapi ada pula yang mengartikan, tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa.
Sebenarnya, bagaimana pun konotasi yang diberikan masing-masing sufi dalam masalah ini, namun pesan yang tersirat di dalamnya adalah agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negative yang diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan. Namun bagi sufi itu sendiri, mereka merasa lebih baik tidak punya apa-apa, atau sudah merasa cukup dengan apa adanya, dari pada punya tapi menyiksa.
Dari penjelasan diatas penulis memahami bahwa al-faqr yang dimaksud oleh para sufi bukanlah seperti miskin yang dipahami kebanyakan orang. Namun menurut mereka al-faqr berarti kesederhanaan. Tidak berlebihan dalam segala hal. Pakaian, makanan dan sebagainya. Semuanya serba sederhana dan sesuai dengan kebutuhan pokok saja.
5. al-Shabr
Secara harfiah al-shabr berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata mengatakan bahwa al-shabr artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi.
Dikutip dari buku Psikoterapi Sufistik karangan Amir an-Najar, al-Kharaz berkata, sabar adalah suatu makna zahir dan bathin. Makna zahir kesabaran ada tiga, yaitu pertama sabar dalam menunaikan kefardhuan Allah SWT dalam setiap keadaanbaik keadaan berat, ringan, sakit maupun sehat. Kedua sabar terhadap segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT dan dilarang untuk jiwa, yaitu merambah hal yang tidak dirdidhai Allah baik secara sadar atau terpaksa. Ketiga sabar terhadap berbagai perbuatan sunnah dan amalan keshalehan yang dapat membawa seorang hamba dekat dengan Allah.
Di kalangan para sufi sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan dalam menjauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima setiap cobaan yang ditimpakan kepadanya.
Sikap sabar sangat dianjurkan, sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Ahqaf:35:
          
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dsan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka. (QS.al-Ahqaf :35)

6. al-Tawakkal
Secara harfiah al-tawakkal berarti menyerahkan, mempercayakan, pasrah kepada Allah SWT. Pengertian tawakkal menurut para ahli sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya Akhlak Tasawuf seperti pendapat sahal bin Abdullah yang mengatakan bahawa awalnya tawakkal adalah apabilaseorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan bahwa tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Menurut Amir an-Najar tawakkal adalah bersandar kepada Allah SWT dalam segala hal. Artinya seorang hamba melepaskan diri dari daya dan kekuatan dan bertumpu pada pemilik daya dan kekuatan tersebut yaitu Allah SWT.
Secara umum pengertian tawakkal adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada Allah setelah melaksanakan suatu rencana dan usaha. Kita tidak boleh bersikap a posteriori terhadap suatu rencana yang telah disusun, tetapi harus bersikap menyerahkan kepada Allah.
Bertawakkal termasuk perbuatan yang diperintahkan Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Taubah: 51:
    
“dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal."

7. al-Ridla
Secara harfiah al-ridla artinya rela, suka, senang. Secara istilah menurut pendapat ulama seperti al-Junaidi mengartikan bahwa ridha meninggalkan usaha (tark aktiari) sedangkan Dzul al-Nun al-Mishri mengatakan , ridha itu ialah menerima tawakkal dengan kerelaan hati
Menurut al-Nun seperti yang dikutip oleh Rivay Siregar mengatakan bahwa tanda orang yang sudah ridha itu ada tiga, yaitu mempercayakan hasil usaha sebelum terjadi ketentuan, lenyapnya resah gelisah setelah terjadi ketentuan, dan cinta yang bergelora di kala terjadi mala petaka.
Dari penjelasan tentang maqaamat di atas penulis berpendapat bahwa maqamat adalah tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh para sufi untuk mencapai makrifat kepada Allah. Tujuan akhir yang hendak dicapai seorang sufi adalah berada sedekat mungkin dengan Allah. Untuk mencapainya maka jenjang-jenjang tersebut harus ditempuh secara beruntun dari tingkatan yang paling rendah sampai pada tingkatan terakhir. Seorang sufi tidak akan berada pada maqâm al-zuhd sebelum ia menempuh maqâm al-taubah dan begitu pula dengan maqâm-maqâm berikutnya.Melalui maqam tersebut satu persatu merupakan usaha yang dilakukan para sufi untuk mencapai derajat tertinggi yaitu Insan Kamil.


3. al-Ahwâl
al-Ahwaal secara etimologi adalah bentuk jamak dari حال yang berarti keadaan. Makna al-ahwâl secara istilah terdapat pendapat ulama, diantaranya Harun Nasution sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya Akhlak Tasawuf mengatakan bahwa hal merupakan keadaan mental seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebgainya. Keadaan yang biasa disebut hal adalah takut (al-khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-taqwa), ikhlas (al-ikhlash), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd), berterimakasih (al-syukr).
Menurut Syeikh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya al-Tashawwuf fi al-Islam makna ahwaal adalah kejernihan zikir yang meresap ke lubuk hati. Menurutnya al-ahwaal tidak dicapai dengan mujahadah, ibadah dan al-riyadhah (melatih diri), sebagaimana maqamat. Al-ahwaal adala seperti al-muraqabah, al-qurb (kedekatan), al-mahabbah (kecintaan), al-khauf (rasa takut), al-raja’(harapan), al-syauq (al-kerinduan), al-thuma’ninah (ketenangan), al-musyahadah (penyaksian), al-yaqiin (keyakinan) dan sebagainya.
Menurut Al-Qusyairi yang juga di kutip oleh Syeikh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya al-Tashawwuf fi al-Islam bahwa al-ahwaal di kalangan sufi berkaitan dengan qalb (hati), tanpa kesengajaan dari mereka, maupun usaha dari mereka seperti kegembiraan, duka cita, kelapangan hati, kerinduan, keterkejutan, kewibawaan, kebutuhan dan lain-lain.
Dengan demikian al-ahwâl merupakan mawâhib (kurnia), sedangkan maqamat merupakan hasil usaha. terwujud dari al-juud (kemurahan), sedangkan al-maqaamat terwujud dengan mencurahkan tenaga.
Menurut penulis al-ahwâl bersifat abstrak. Tidak dapat dilihat dengan mata, namun hanya bisa dirasakan dan dipahami sendiri oleh orang yang mengalaminya. Tentunya al-ahwaal yang dirasakan masing-masing orang tidak sama dengan apa yang dialami dan dirasakan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar